Catatan : Ahmed Siauta
Radar Ambon“Kami masyarakat sempat kaget melihat dan mendengar robohnya tiang alif yang sudah bertahan selama dua ratus tahun di atas Masjid Ulihalawang. Seakan makna historis penuh kesakralan yang megah menjadi kebanggaan dan jati diri masyarakat Desa Hila lenyap seketika kala angin puting beliung merobohkan kemegahan itu,” ujar Hj. Suleman Launuru, Ketua Panitia Pemasangan Kubah Masjid Negeri Hila, kepada RADAR AMBON, Kamis 7 Juni.
Menara kubah Masjid Negeri Hila secara spritual memiliki makna simiotis. Secara terminologi, masyarakat Negeri Hila tidak menyebut ‘menara kubah’ seperti lazimnya masyarakat lain. Masyarakat lebih menyebutnya sebagi tiang alif yang berarti huruf pertama dalam abjad Arab, atau berdiri tegak lurus di puncak kubah dengan memberi mahkota, maka memperindah seluruh fisik bangunan masjid itu dari berbagai sudut pandang. Apaligi ditambah dengan ornamen seni tangan mengukir mengelilingi ruang Masjid.
Ada ukiran delapan sisi pada menara Masjid mengandung makna penjuru mata angin bagi aktifitas manusia secara ekonomi, agraria, melaut. Empat kipas diperut tiang alif maknya adalah memberi perlindungan kepada masyarakat. Ukuran panjang tiang mencapai lima meter mengisyaratkan shalat lima waktu.
“Makna paling mendalam dan memiliki hubungan kaualitas dengan kehidupan manusia khususnya masyarakat Negeri Hila sebagai negeri Islam yang memiliki ketekunan atas adat istiadat yang ditinggalkan para leluhur sebelumnya,” ujar Suleman. Dirinya mengakui, begitu panjang jika diungkit satu persatu manuskrip pembangunan masjid yang terletak dulunya di pesisir tanah Hitu ini. Berdasarkan buku Hikayat Tanah Hitu dalam Al-Kisah XXVI yang ditulis salah satu penyiar Islam di Maluku khususnya tanah Hitu, Imam Ridjali yang kemudian dikutip penulis Eropa. Rumpius tahun 1700 menjelaskan, pembangunan masjid Negeri Hila dilaksanakan dalam tiga fase dengan tiga bentuk atau arsitektur bangunan masjid yang berbeda.
“Masjid Negeri Hila dibangun pada masa siar Islam di Maluku. Dulunya kawasan ini dikenal dengan Tanah Hitu. Hal ini diungkapkan oleh Imam Ridjali salah satu tokoh dan penyiar Islam dalam cerita Hikayat tanah Hitu. Kemudian, kembali disaling oleh seorang Jermanis yang dulunya menulis soal flora dan fauna Maluku yakni Rumphius,” kisahnya.Bangunan Masjid pertama berdiri pada abad 12 berbentuk surau tergantung dengan empat pilar penyanggah. Bangunan masjid kedua pada abad 14 berbentuk piramid dan bangunan ketiga abad 18 dan masih bertahan hingga saat ini.
tiang alif masjid hasan sulaiman |
“Dulu pohon mintanggur hutan diambil oleh para tetua adat diperbukitan Masapa yang teletak ditimur Negeri Hila berjarak 6 Km dan 2 Km dari tepi pantai,” tandasnya. Setekah Tiang Alif itu roboh, mencari kembali pohon mintanggor begitu langkah. Pasalnya selama 20 hari, seluruh desa-desa di pesisir Kecamatan Leihitu dijelajahi untuk mencari pohon tersebut tapi tidak ditemukan. Hingga dikabarkan jika jenis pohon tesebut ada pada salah satu dusun di Kabupaten SBB.
“Pencarian yang berakhir sia-sia selama dua puluh hari tidak menyurutkan semangat pada tokoh adat untuk tetap mencari pohon tersebut walau sampai menembus batas lautan. Atas izin Allah SWT, angin segar berhembus membawa layar menuju dusun kecil di Kabupaten SBB tempat dimana pohon itu akan ditebang,” jelas Suleman, yang menambahkan sesuai dengan pranata adat Negeri Hila, lima orang dengan jabat adat yakni, Talauke, Sine Wanepessy, Tuhe Tomu, Tuhe Mahu, dan Akihalai menyampaikan kondisi tumbangnya Tiang Alif kepada raja negeri. Persoalan itu terus diresponi dengan melakukan pencarian pohon yang serupa dengan tiang alif sebelumnya.
acara pemasangan tiang alif |
Dirinya meminta kepada seluruh masyrakat Negeri Hila yang berdomisili dimanapun agar bisa sama-sama hadir dalam ritual kenaikan Tiang Alif tersebut. Pasalnya momentum itu sangat penting dengan makna historis yang harus disaksikan bahkan dipelajari bagi setiap generasi agar kebudayaan dan tatanan adat tidak tereduksi. (*)
SUMBER : http://m.iyaa.com/berita/regional/sulawesi_indonesia_timur/1381527_3119.html